Selasa, 24 Februari 2015

Demi Orangtua Kami

Kepada Anda yang sedang bertugas.

Anda pasti tahu seperti apa rasanya menunggu. Dan kami yakin, Anda tidak suka dibuat menunggu. Tapi mengapa Anda malah selalu ingin ditunggu? Kami sama seperti Anda: tak suka menunggu.

Anda pasti tahu seperti apa perasaan orangtua yang harap-harap-cemas menanti pesta kelulusan anaknya. Memang, kami sudah lulus secara resmi dan orangtua kami berbahagia--meski kami sudah terlambat setahun. Tapi memakai toga dan jubah pun adalah sebuah bentuk terima kasih kami untuk dipersembahkan kepada orangtua kami yang ingin mendampingi di hari bersejerarah itu. Lalu, Anda dengan mudahnya berkata tidak mengapa jika kami tidak ikut wisuda kali ini. Anda bilang kami baru bisa wisuda pada wisuda angkatan selanjutnya. Padahal kami sudah melewati yudisium beberapa waktu yang lalu. Betapa teganya Anda membuat kami menunggu. Betapa teganya Anda mengecewakan harapan kedua orangtua kami.

Kepada Anda yang bertanggung jawab, kami mohon segerakanlah. Kami tahu pekerjaan Anda tidak mudah. Tapi tolong bekerjalah tepat waktu. Kami bersedia membantu jika Anda butuh. Tapi Anda melarang. Kami maklum, dulu ada orang yang memanipulasi nilainya dengan motif membantu Anda. Tapi berusahalah, sementara kami mendoakan. Bukankah semua ini menjadi terlambat karena Anda tidak fokus pada pekerjaan Anda sendiri--datang dan pergi seenaknya pada jam kerja. Lalu sekarang Anda mau melemparkan akibatnya kepada kami?

Kami tidak tahu apa yang Anda kerjakan di luar sana. Tapi tolong jangan mengesampingkan kami yan menunggu berjam-jam hanya demi selembar kertas.

Jika Anda tidak bersedia bekerja demi kami, kerjakanlah demi orangtua-orangtua kami yang telah membiayai pendidikan kami.

Kepada Anda yang bertugas, bekerjalah dengan baik agar kampus ini dapat dibanggakan berkat kinerja Anda.

Surat ini kami kirimkan karena kami menyayangi kampus kami, bukan karena membenci Anda. Kami bahkan tak ingin Anda kehilangan pekerjaan. Dan kami juga tak ingin hal yang terjadi pada kami juga menimpa adik-adik angkatan kami.

Sampaikan salam kami kepada keluarga Anda. Semoga anak-anak Anda kelak tidak dipersulit seperti kami ketika kuliah nanti.

Salam hormat,
Dari kami yang ingin membahagiakan kedua orangtua.

(23.02.2015)

Cinta dalam Cermin

Dalam sebuah komik, aku menemukan sebuah kutipan manis: "Manusia itu seperti cermin. Jika kau tersenyum, orang lain juga akan tersenyum padamu."

Kubacakan kutipan itu kepada teman-temanku. Kemudian, salah satu dari mereka bertanya, "Bagaimana dengan cinta? Apa jika aku mencintai seseorang, maka cintaku akan terbalaskan?"

"Lagi-lagi soal cinta," ujar teman-teman yang lain sambil nyengir. Temanku yang satu itu memang senang membahas tentang cinta. Tapi anehnya, aku belum pernah melihat seorang perempuan yang berhasil membuatnya jatuh hati.

Sambil memasukkan komik itu ke dalam tas, aku menjelaskan, "Jika cermin itu jernih, cintamu bisa saja terbalaskan. Tapi jika cermin itu buram, dia tidak mampu menyerap rasa cinta sedalam yang kau rasakan untuk dipantulkan kembali padamu." Tanpa sengaja kami bersitatap setelah aku memakai ranselku kembali.

"Jika cermin itu buram, bagaimana membuatnya jernih?" tanyanya lagi.

"Entahlah. Mungkin kau perlu berusaha lebih keras hingga cermin itu jernih kembali."

"Baiklah. Aku akan lebih berusaha agar cerminmu bisa memantulkan perasaan yang selalu kupendam selama ini." []

Rabu, 18 Februari 2015

Masihkah Aku Sahabatmu?

kepada kau yang kusebut sahabat

Halo, sahabatku. Bagaimana kabarmu? Semoga kau selalu sehat di sana. Kabarku di sini baik-baik saja. Banyak hal yang sudah terjadi tapi akhirnya bisa kulalui dengan susah payah.

Sudah lama aku ingin mengirim surat untukmu. Tapi selalu kuurungkan niatku itu karena aku tak ingin mengganggumu. Meski sudah bertahun-tahun kita tak bertemu, tapi aku selalu memperhatikanmu dari jauh dan mendoakan kesuksesanmu. Kudengar kini kau telah menemukan passion yang sesuai untukmu. Sepertinya kau sangat menikmatinya. Selamat, ya. Akhirnya kau semakin dekat dengan mimpimu.  :)

Kau tahu,aku selalu merindukan kebersamaan kita yang penuh suka-duka. Apakah kau juga merindukanku meski kini kau sudah memiliki teman-teman baru yang punya minat yang sama denganmu? Mungkinkah aku bukan lagi sahabatmu karena jalan kita tak lagi sama? Ataukah sejak awal kau memang tidak menganggapku sahabatmu?

Aku di sini juga sedang memperjuangkan mimpi sepertimu. Tapi aku selalu berharap untuk bisa bertemu denganmu di sela-sela kesibukanku. Bagaimana denganmu? Tak bisakah kau sedikit saja menyempatkan diri untuk bertemu denganku? Atau setidaknya menghubungiku via telepon. Aku selalu berusaha menghubungimu tapi jawabanmu selalu saja sibuk. Apakah aku hanya mengganggumu?

Maafkan keegoisanku ini. Aku hanya tak ingin persahabatan kita renggang, berjarak, dan akhirnya terputus. Aku ingin tetap selamanya bersahabat denganmu karena tak ada seorang pun yang mampu menggantikan tempatmu di hatiku.

Salam rindu,

Seseorang yang menganggapmu sahabat.

(18.02.2015)

Selasa, 17 Februari 2015

Surat Terakhir untuk Nenek

:kepada Nenek di Surga

Assalamualaikum, Nenekku sayang. Bagaimana malam pertama Nenek di sana? Semoga baik-baik saja karena aku tahu selama ini Nenek selalu menanam kebaikan di ladang amal Nenek. Maafkan aku terlambat mengirimi Nenek surat. Nyawaku rasanya belum berkumpul semua setelah mengantarkan Nenek ke tempat peristirahatan terakhir di sana.

Setelah menerima kabar dari tante Rosie pada dua senja kemarin, kami sekeluarga bergegas mengepak barang-barang kami untuk menemui Nenek di Bulukumba. Sayangnya, kami tak mampu berangkat ketika malam merangkak naik. Maafkan kami, Nek. Mama dan Papa juga sedang tidak sehat, sehingga kami baru bisa berangkat kemarin subuh.

Empat jam perjalanan sungguh melelahkan dengan perasaan tidak karuan seperti ini. Sawah hijau yang terhampar dan ombak kecil yang berlarian di lautan luas menemani perjalanan kami. Jika saja kami pergi dengan tujuan menyenangkan, tentu aku akan meminta Kakak untuk singgah sejenak lalu merentangkan tangan, membiarkan hembusan angin menerpa seluruh tubuhku. Tapi kami pergi dengan perasaan duka. Bahkan angin yang sejuk tak mampu menghilangkan raut kesedihan di wajah kami. Mobil pun terus melaju, berusaha sampai ke rumah Nenek secepat mungkin.

Setibanya di rumah Nenek, aku pun masuk bersama keluarga. Kulihat seseorang dengan ciput putih menutupi kepalanya keluar dari kamar Nenek. Kukira itu Nenek. Aku berharap itu Nenek. Sayangnya, itu bukan Nenek.

Kualihkan pandanganku ke tengah ruangan. Di sana kulihat Nenek terbaring berselimut sarung kesayangan Nenek. Hatiku bergetar. Kaki terasa berat melangkah. Sekujur tubuhku gemetar. Seketika itu juga air mataku mengucur deras tak tertahankan. Kupaksakan kakiku melangkah lalu berlari tergopoh memeluk tubuh Nenek yang dingin. Kerinduanku pada Nenek tak terbendung lagi. Aku menangis sejadi-jadinya. Akhirnya aku bertemu dengan Nenek yang amat kurindukan. Tetapi pertemuan itu hanya sepihak. Nenek telah dijemput oleh sang senja. Dan saat itu, tinggal jasad Nenek yang bisa kujumpai. Tangisku tidak berhenti hingga mengantarkan Nenek menuju pusara terakhir.

Nenek ingat semua itu, 'kan? Nenek melihatnya, 'kan? Nenek lihat aku di samping Nenek, 'kan?

Nenek, aku masih ingin bercerita panjang lebar. Tapi aku harus segera kembali menyulam waktu yang turut berduka mengantarkan kepergian Nenek. Aku harus mengumpulkan kekuatanku untuk mampu melanjutkan aktivitas yang tertunda. Aku harus tetap hidup untuk meneruskan kebaikan Nenek kepada orang banyak. Aku akan terus hidup untuk menjaga putra tunggal Nenek dan istrinya yang kupanggil dengan sebutan Papa dan Mama. Aku akan berjuang demi Nenek. Karena itu, Nenek tidak usah khawatir. Beristirahatlah dengan tenang di sana. Kami akan selalu mendoakan Nenek dari jauh. Semoga Allah mengampuni dosa-dosa Nenek dan menempatkan Nenek bersama Rasulullah dan orang-orang sholeh lainnya.

Salam sayang,

Dari cucu bungsu yang akan selalu mendoakan Nenek.

(17.02.2015)

Sabtu, 14 Februari 2015

Hari Istimewa

'tuk Yang Tersayang

Happy birthday, darl! \^o^/

Alhamdulillah, hari ini kamu menapaki usia 25 tahun. Aku pun baru saja menginjak usia 23 tahun seminggu yang lalu. Ulang tahun kita hanya berjarak seminggu. Kita selalu memperingatinya dalam satu waktu dan saling bertukar kado pada saat itu. Unik, bukan?

Kamu ingat, kita berdua selalu gagal dalam membuat kejutan. Kita sama-sama tidak sabar untuk memberikan sesuatu kepada pasangan, sehingga tidak jarang kita sudah mengetahui isinya sebelum kita bertukar kado. Haha.

Jadi, seperti tahun-tahun kemarin, kamu pasti sudah tahu hadiah apa yang kukirimkan untukmu. Maafkan aku, tak mampu membelikanmu hadiah yang mewah meski aku tahu kamu tak peduli soal itu. Bahkan kamu tak pernah meminta kado dariku. Tapi biarkan aku menyenangkanmu sesekali walau dengan cara yang sederhana.

Di hari yang istimewa ini, aku bersyukur karena Tuhan masih memberikanmu kesempatan untuk hidup, mendampingiku, dan berbuat baik kepada orang banyak.

Doaku, semoga kamu selalu diberi petunjuk dalam setiap langkahmu. Semoga kamu selalu diridhoi dan diberkahi dalam setiap jerih payahmu. Semoga kamu dapat menjadi pribadi yang semakin dewasa, semakin berkharisma, dan semakin rendah hati.

Aku juga berharap semoga kebaikan selalu menyertai setiap hembusan napasmu. Semoga kamu selalu dilindungi dan dijauhkan dari hal-hal buruk yang mencoba mendekatimu. Dan semoga kamu (dan aku) diberkahi umur yang panjang agar kita bisa selalu bersama.

Satu hal lagi, semoga cintamu (dan cintaku) selalu utuh bersama komitmen, kepercayaan, dan kejujuran yang telah kita bina selama ini.

Hari ini aku tidak banyak bercerita. Aku hanya berharap kamu bahagia di hari istimewamu.

Sekali lagi, selamat ulang tahun kuucapkan padamu. Selamat menikmati perjalanan hidupmu. Selamat berjuang untuk masa depan kita. Semangat! :D

Salam hangat,

Belahan jiwamu

(15.02.15)

Mencintaimu dengan Tulus

Hai, Sayangku!
Sudahkah kau melihat kalender hari ini? Kata orang hari ini adalah hari kasih sayang. Tapi, di kalenderku tidak ada keterangan apa-apa tertera di sana. Warna tanggalnya pun tidak merah. Dan kau..., kau tetap sibuk dengan pekerjaanmu. Tidak ada yang spesial, bukan?

Sudahlah, abaikan saja peringatan hari kasih sayang itu. Bukankah kita selalu ingat untuk saling mengasihi dan menyayangi tanpa perlu diperingatkan? Haha, omonganku benar-benar ngawur. Lupakan saja.

Ngomong-ngomong, berbicara tentang kasih sayang mengingatkanku tentang masa lalu kita beberapa tahun yang lalu. Apa kau masih ingat?

Sebenarnya aku malu untuk menceritakannya, tapi tak apalah. Toh, kita berdua sudah melewatinya bersama-sama.

Saat itu kau menyatakan perasaanmu padaku. Kau tahu, saat itu aku merasa sangat gembira. Tapi aku tidak sepenuhnya gembira. Kau tahu kenapa? Karena saat itu kau belum menaruh rasa padaku seutuhnya.

Masih teringat jelas di benakku percakapan kita kala itu ....

"Saat ini aku belum benar-benar bisa melupakannya, tapi bukan berarti aku tak bisa. Dan bukan berarti aku tidak mencintaimu. Hanya saja aku butuh sedikit waktu untuk mencintaimu seutuhnya."

Dia yang kaumaksud adalah seseorang yang kausukai dulu. Seseorang yang tidak pernah menjadi milikmu tapi tetap kausukai dalam diammu.

"Tapi, jika kamu tidak menyukai sikapku ini, kamu boleh meninggalkanku. Walau sebenarnya ... aku tidak ingin kamu pergi. Aku benar-benar ingin menjalani hubungan denganmu. Tapi kalau aku hanya menyakitimu, kamu boleh menolakku," kau melanjutkan dengan sedikit salah tingkah.

Hening. Tak ada tanggapan dariku.

Kau kembali angkat bicara, "Jujur, aku sudah memikirkannya selama beberapa bulan terakhir. Sejak pertemuan kita tahun lalu, kamu terus memenuhi pikiranku. Tapi egoku menantangku untuk menaklukkan dia, sang diva sekolah. Aku akan merasa bangga jika bisa mendapatkannya. Namun kemudian aku sadar, tidak ada gunanya menaklukkan seorang perempuan hanya demi ego semata. Kurasa sudah waktunya untuk mencari perempuan yang bisa kuajak untuk menata masa depan. Dan saat itu hanya wajahmu yang kuingat.  Karena itu, maafkan aku terlambat menyatakan perasaanku padamu. Aku butuh waktu untuk memantapkan hati, dan kurasa inilah saatnya untuk mengatakannya padamu."

"Apakah aku menjadi pelarian bagimu?" kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Tidak. Tentu tidak. Jika aku ingin menjadikanmu pelarian, sudah kulakukan setahun kemarin karena aku tahu kamu juga menyukaiku. Tapi aku tidak sejahat itu. Karena itu, aku mencoba menenangkan diri agar mampu memutuskan yang terbaik sehingga tidak ada yang tersakiti."

Walaupun ada sedikit luka mendengarkan penjelasanmu, tapi kebahagiaanku jauh lebih besar. Kau berusaha untuk jujur padaku. Dan kau memberi kesempatan pada dirimu untuk mencintaiku seutuhnya.

Tahukah engkau? Sudah lama aku tahu bahwa kau menyukainya--dan sejak saat itu aku tidak terlalu menyukainya, aku cemburu. Tapi entah kenapa rasa untukmu itu tidak juga menghilang. Padahal ada beberapa laki-laki yang ingin mendepakmu dari singgasana hatiku.

"Kamu tahu kenapa sampai saat ini aku masih bertahan untuk menunggumu? Padahal kamu sempat menghilang beberapa lama setelah mendekatiku dan membuatku jatuh cinta." Aku mulai angkat bicara. "Itu karena aku mencintaimu dengan tulus, Rei," lanjutku malu-malu sambil berusaha menghindari kontak mata. Apakah pantas bagi seorang perempuan untuk berkata seperti itu? Entahlah. Tapi apa boleh buat, memang itu yang kurasakan.

"Aku tentu mau menerimamu apa adanya. Selama kamu tidak menjadikanku pelarian, penjelasan itu sudah cukup untukku. Kita bisa memperbaiki segala kekurangan dalam diri kita masing-masing seiring berjalannya waktu. Dan hanya waktu yang akan menjawab apa kita pantas untuk bersama atau tidak. Aku juga akan berjuang agar kamu mau menatapku dengan kedua matamu. Bukan hanya dengan sebelah mata saja," ungkapku panjang lebar.

Ya, bukan dengan sebelah mata seperti saat itu. Saat kau mencuri pandang pada sosok perempuan itu yang sedang mengobrol dengan kekasihnya.

Kau tahu, banyak hal yang sudah terjadi selama setahun kebersamaan kita hingga aku akhirnya mampu dicintai olehmu seutuhnya. Tak ada lagi dia dalam hatimu. Aku berhasil mengalahkannya dalam hatimu.

Kau masih ingat masa-masa itu, bukan? Masa-masa yang berat untuk kita jalani. Dan semua itu mampu kita lewati karena kasih dan sayang yang mengalir lembut dalam hubungan kita.

Kau juga pernah bilang bahwa kita akan tetap bersama selama masih ada komitmen,kepercayaan, dan kejujuran yang terus dipertahankan. Dan berkat ketiga hal itu, rasa kasih dan sayang kita semakin kuat. Rasa cinta kita semakin dalam.

Oh, maafkan aku. Sepertinya suratnya agak luntur terkena air mataku. Haha. Tapi tenanglah, tidak ada tangis kesedihan ketika aku menuliskan surat ini. Ini hanyalah tangis haru dan syukur atas kebersamaan yang selama ini kita jaga.

Sayangku, terima kasih sudah menjagaku, menjaga hubungan kita, dan menjaga cinta kita. Masih banyak rintangan yang harus kita lalui. Tapi ingatlah, aku ada bersamamu. Aku takkan pernah membiarkanmu berjuang sendirian. Bukankah cinta itu akan tetap terjaga selama kita sama-sama memperjuangkannya? Kalau hanya berjuang sendiri, itu bukan cinta namanya. Hihihi. Benar, 'kan? Tetaplah jaga cintamu untukku. Aku pun akan selalu tulus mencintaimu. Semoga cinta kita selamanya tetap utuh dalam hati kita.

Selamat bekerja!

Love you, Dear! ♡

Dari aku yang selalu menyayangi dan mencintaimu. :-)

(14.02.15)

Kamis, 12 Februari 2015

Terima Kasih Telah Mendewasakanku

:untuk bidadari dalam hidupku

Surat ini kutuliskan sebagai ungkapan rasa sayang yang tak mampu kukatakan secara langsung di hadapanmu, seorang bidadari yang menjelma menjadi wanita penyayang yang kusebut Mama.

Aku, gadis bungsu Mama, kini telah beranjak dewasa. Lima hari yang lalu aku baru saja memulai hari dengan usia yang semakin matang: dua puluh tiga.

Ya, dua puluh tiga tahun yang lalu Mama melahirkanku. Aku belum pernah merasakan bagaimana melahirkan seorang anak. Tapi, mendengar cerita dari Mama dan ibu-ibu lainnya, rasanya seperti berada di antara hidup dan mati. Benarkah begitu, Ma? Dan sebelum melahirkanku, Mama tentu telah mengandungku selama hampir sembilan bulan--waktu yang sangat lama untuk menggendongku yang sedang tertidur di rahim Mama. Lihatlah, bahkan sebelum aku lahir pun aku sudah menyusahkan Mama. Tetapi Mama bilang, "Kamu adalah anugerah bagi Mama dan Papa. Kehadiranmu sama sekali bukanlah beban bagi kami."

Kasih sayang Mama tidak berhenti ketika aku masih kecil. Bahkan hingga kini pun aku masih merasakan kasih sayang dari Mama. Ternyata benar yang dikatakan orang, kasih ibu sepanjang masa. Dan sampai saat ini, aku masih menjadi gadis kecil untuk Mama. Sampai sekarang, Mama masih memanjakanku dengan ciuman di kening dan kedua pipiku.

Tahukah engkau, Ma? Dulu, ketika aku baru merangkak remaja, aku sangat kecewa dengan sikap Mama karena masih menganggapku seorang gadis kecil. Mama selalu melarangku pergi walau letaknya masih di dalam kota.

"Bagaimana aku bisa berkembang jika hanya berdiam diri di rumah?!"

"Mama tidak mengerti rasanya menjadi anak yang dikungkung seperti ini! Tidak enak, Ma! Sungguh   tidak enak!"

Berbagai kekecewaan kutumpahkan dengan air mata. Tak jarang aku bersungut-sungut di hadapan Mama jika tidak mengabulkan keinginanku. Terkadang aku harus berbohong hanya supaya bisa mendapatkan izin dari Mama. Tapi tenanglah, Ma. Aku tetap bisa menjaga diri. Teman-temanku adalah orang yang baik dan pengertian. Maafkan aku yang pernah membohongi mama sekali-dua kali. Semua ini kulakukan bukan untuk bersenang-senang. Aku hanya sedang mencari jati diriku dan menyusun rencana untuk masa depan. Tak pernah sekalipun aku berbohong untuk mengkhianati kepercayaan Mama.

Ketika usiaku semakin bertambah, pola pikirku pun mulai berubah. Dengan obrolan bersama seseorang yang istimewa bagiku dan buku-buku bermanfaat yang kubaca, aku pun mulai merenungkan semua sikap Mama kepadaku. Dan aku pun menyadari satu hal: Mama pernah muda, tentu saja Mama pernah melihat dan juga mengalami setiap fase yang akan kulalui, karena itulah Mama melakukan semua ini agar tidak terjadi hal buruk padaku di luar sana--meskipun menurut orang banyak, itu terkesan agak kolot, tapi aku tidak peduli.

Maafkan aku yang bodoh karena terlambat menyadarinya. Kini kusadari, perhatian Mama itu sangat berarti untuk pengembangan diriku. Karena perhatian Mama, aku jadi bisa mengamati dunia luar dari sudut pandang yang berbeda. Dan kini kutahu, dunia sedang tidak baik-baik saja! Kekacauan terjadi di mana-mana, kriminalitas mengancam siapa saja, bahkan di kota kecil tempat kita tinggal pun sudah tidak aman lagi. Aku sudah mengerti alasan Mama membatasi gerakanku. Sejak saat itu, aku tahu cara yang tepat untuk mengembangkan kemampuanku sendiri.

Memasuki usia dua puluh, masalah yang kualami semakin meluas. Menurut buku yang pernah kubaca, masalah itu ada karena kita semakin tahu banyak hal tapi tidak semakin mengerti. Dan, ya, semakin aku besar, semakin banyak hal yang kulihat dan kuketahui, tapi belum semuanya kumengerti. Sedikit demi sedikit kucoba memahami hal-hal yang terjadi di sekelilingku. Dan yang paling menyenangkan untuk dipahami adalah Mama--karena engkau adalah wanita yang kusayangi.

Penyakit yang hampir empat belas tahun menemani Mama hingga saat ini adalah salah satu hal yang kucoba pahami. Dan aku menemukan satu hal yang sangat istimewa: Mama adalah manusia super! Bayangkan saja, kedua kaki yang sebelumnya dapat melangkah ringan untuk wanita karir seperti Mama tiba-tiba menjadi berat akibat penyakit lumpuh yang  datang di suatu pagi ketika Mama hendak berangkat kerja. Tapi Mama berbeda. Semangat Mama tidak kendur. Dua bulan setelah dirawat--sayangnya tidak mengalami kemajuan signifikan--Mama terus melakukan terapi di rumah demi kesembuhan Mama. Terapi saraf pun Mama lakukan selama bertahun-tahun. Meski mengalami kemajuan yang cukup lambat, meski langkah Mama masih terasa berat, tapi Mama tetap aktif dan mandiri. Mama selalu yakin untuk sembuh--dan aku selalu mendoakan kesembuhan Mama.

Melihat keadaan Mama yang seperti ini menjadi motivasi buatku untuk membahagiakan Mama, Papa dan keluarga karena selama Mama sakit pun Mama terus berjuang demi aku, kakak-kakak, dan Papa--semuanya demi keluarga tercinta. Sekarang, tanpa dilarang pun aku mencoba membatasi kegiatanku yang tidak begitu penting. Kuperbanyak waktuku di rumah untuk membantu dan menemani Mama yang telah pensiun beberapa tahun lalu. Meski kadang aku merasa jenuh, tapi jika melihat senyum Mama ketika kita mengobrol, hatiku kembali tenteram.

Mamaku sayang, terima kasih atas segala perhatian, cinta, dan kasih sayang yang kauberi. Tanpamu, aku takkan bisa sampai ke titik ini. Titik di mana aku bisa mengamati keadaan sekitar dan merenungkannya, titik di mana aku belajar mengeksplor diri dan kemampuanku dengan cara yang berbeda--Tahukah engkau, Ma? Itu sangat menyenangkan! Aku selalu mendoakan Mama agar cepat sembuh dan kita bisa bersama-sama ke Baitullah, tempat yang sangat ingin Mama kunjungi. ♡

With love,

Your youngest daughter

(13.02.2015)

Rabu, 11 Februari 2015

Izinkan Aku Menjemputmu

Selamat pagi untukmu. Kuharap kau sudah terbangun dari mimpi panjangmu, dan terbebas dari masa lalu yang terus mendekapmu erat. Perkenalkan, aku adalah lelaki yang ingin mendampingimu di masa depan. Aku bertekad untuk membimbingmu menjadi seorang wanita teladan bagi keturunan kita kelak.

Aku mungkin tak seelok dirinya yang selalu kaudambakan. Aku juga tak sehebat ayahmu yang amat bijaksana. Namun, aku akan berusaha untuk menjadi pribadi yang lebih baik hingga hari pertemuan kita tiba. Semua itu kulakukan agar aku pantas untuk mendapatkanmu. Agar aku layak berada di sisimu.

Bagaimana denganmu? Apakah kau juga sedang mempersiapkan diri untuk bertemu denganku, ataukah masih mengharapkan dirinya yang pernah mengisi kekosongan hatimu?

Hei, lihatlah ....
Dunia ini begitu luas, begitu indah. Coba lepaskan dekapan ilusi yang membelenggumu, lalu lihatlah siapa saja yang selalu menanti senyuman tulusmu di luar sana: ayah, ibu, kakak, adik, sahabat, dan orang-orang yang mencintaimu. Kau tahu, aku juga berada di antara mereka. Bila kau belum melihat keberadaanku, cobalah untuk melangkah ke depan. Kau akan menemukan sosokku setelah kau benar-benar menjauh dari belenggu yang selalu menahanmu untuk tetap tinggal. Aku ada di sana menunggumu dengan sekotak mahar yang telah kupersiapkan khusus untukmu.

Jadi, siapkah engkau meninggalkan ilusi yang selalu menghantuimu? Jika belum siap, tak mengapa. Aku akan senantiasa menunggu hingga kau siap untuk berangkat bersamaku. Dan jika kau telah siap, aku akan menuntunmu menuju cahaya seraya menyembuhkan segala duka nan luka yang berbekas akibat belenggu yang telah mencengkram kedua lengan dan kakimu dengan kuatnya. Jujur, aku tak bisa menjanjikan kebahagiaan, tapi aku berjanji untuk selalu berada di sisimu, mendukungmu, melindungimu, dan mencintaimu hingga ajal memisahkan kita--dan semoga kita dapat bersatu kembali di surga-Nya kelak.

Sebelum engkau memutuskan untuk pergi bersamaku menuju masa depan atau tetap tinggal bersama bayang-bayang masa lalu, izinkan aku menitipkan beberapa pesan untukmu:

1. Janganlah terlalu lama bermuram diri karena aku terluka melihatmu begini. Aku tidak bisa membiarkanmu terus tersakiti, tapi aku tak bisa berbuat apa-apa di sini--tidak, sebelum kau membukakan pintumu untukku--dan itu hanya membuatku marah pada diriku sendiri.

2. Aku tidak menjamin diriku takkan pernah melukaimu. Tapi sungguh, aku tidak pernah berniat untuk menyakitimu. Jika suatu saat aku berbuat demikian, maka tegurlah aku. Aku pun hanya manusia biasa yang juga bisa khilaf. Jadi sudah sewajarnya untuk kita saling mengingatkan satu sama lain--ini berlaku jika kau telah memutuskan untuk melangkah bersamaku.

3. Aku tidak mengharapkanmu menjadi wanita yang sempurna. Aku hanya berharap kau selalu menjaga diri, baik sebelum atau pun setelah bertemu denganku. Dengan begitu, kau telah menjaga kehormatanmu dan kehormatanku yang akan mendampingimu kelak. Bukankah istri yang baik adalah yang mampu menjaga kehormatan suaminya?

Aku berharap kau memutuskan untuk ikut denganku. Sungguh, aku sudah tak sabar untuk bertemu denganmu: sang penyejuk hati.

Terima kasih sudah mau membaca surat ini. Aku tidak mengharapkan balasan darimu secepat mungkin. Kau boleh membacanya berulang kali hingga kau merasa ingin membalasnya. Beritahu aku kapanpun kau siap untuk menjelajahi dunia bersamaku. Aku akan selalu menantimu di depan pintu.

Dari lelaki yang ingin meminangmu (12.02.15)

Berjuanglah, Lelakiku!

Lelakiku, bagaimana jiwamu? Apakah penuh luka akibat perjalanan jauh yang harus kautempuh?

Maafkan aku, Lelakiku.
Karenaku, kau harus melewati jalan setapak berbatu untuk bisa sampai kepadaku. Jalan itu tidak semulus yang kaukira. Aku ingat, kau bahkan terkejut saat pertama kali mengetahui bahwa aku menunjukkan jalan rahasia padamu.

Jalan ini hanya diketahui oleh beberapa orang--dan mereka semua menyerah ketika baru berjalan beberapa langkah. Tapi kau, dengan senyum tulus dan sebuah kotak yang kaugenggam erat, engkau telah melewati dua per lima jalan itu.

Dengan susah payah kau terus menggenggam kotak itu demi bertemu denganku. Demi bersatu denganku. Aku tak pernah mengira kau akan bertahan selama ini. Meski penghalau datang silih berganti, namun kau tetap pada pendirianmu untuk menjemputku.

Kau tahu, tidak sehari pun aku lupa mengirimkan doa ke langit ketujuh. Meminta-Nya untuk selalu menjagamu--karena aku tidak berdaya untuk itu.

Kau tahu, tidak sehari pun aku luput memandangimu dari kejauhan. Melihatmu berjalan tertatih menuju rumahku.

Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu sendirian. Aku pun di sini sedang berjuang demi tujuan suci kita. Demi mimpi-mimpi yang telah kita anyam bersama-sama.

Jangan khawatir, aku akan selalu mengirim surat untukmu. Kau boleh duduk sebentar untuk membacanya sebelum melanjutkan perjalananmu.

Aku yakin, surat-suratku akan memberimu energi baru untuk terus melangkah. Karena bersama suratku terselip doa yang tulus untuk kebahagiaanmu dan kebahagiaan kita.

Dari perempuanmu yang sedang menanti di beranda rumah

Makassar, 11 Februari 2015