Jumat, 19 September 2014

KEHILANGAN

"Suamiku, mengapa engkau meninggalkanku?!" teriak seorang perempuan dari bawah tanah merah yang masih basah. Sang suami hanya berlalu dengan wanita baru.


Jumat, 12 September 2014

Penantian Ibunda

Jam menunjukkan pukul lima sore. Seorang wanita tua berumur sekitar 70 tahun sedang duduk di serambi rumahnya. Pandangannya yang sudah mulai kabur menatap ke jalan raya di depan rumahnya. Keningnya berkerut dan matanya menyipit. Ia berusaha melihat jelas setiap orang yang lalu lalang. Jalan itu juga dilalui banyak kendaraan yang melintas berlawanan arah, mulai dari sepeda ontel hingga mobil. Kebisingan jalan raya itu membuat pendengaran si ibu sudah mulai tumpul. Rambutnya yang memutih telah menjadi saksi perubahan zaman.

“Bu, masuk, yuk!” Terdengar suara seorang wanita lain di balik pintu. Sang Ibu tidak memedulikannya. Ia masih sibuk memerhatikan setiap kendaraan dan orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Wanita itu datang menghampirinya. Usianya 40 tahun, namun kecantikannya tetap terjaga. Mereka tinggal berdua di rumah “setengah modern” bertingkat dua itu. Diulanginya ajakannya, “Bu, hari sudah senja. Sebaiknya ibu masuk saja.”

Dengan wajah memohon, ditatapnya anak bungsunya itu. “Biarkan Ibu di sini sebentar lagi, Nak,” ucap sang Ibu. Anaknya hanya bisa menghela napas panjang. Ia sebenarnya tidak tega memaksa ibunya masuk. Akhirnya ia ikut menemani ibunya di serambi mungil itu. Ibu merasa kesepian jika sudah berada di dalam rumah. Karena itulah setiap sore ia menyempatkan diri untuk duduk di serambi rumahnya melihat hiruk-pikuk jalan raya. Selain itu, tetangganya juga sering menyapanya. Dengan begitu, si nenek tidak merasa kesepian lagi.

“Kenapa Ibu selalu memperhatikan setiap orang yang lewat?” tanya Rosma pada ibunya. Ia merasa heran dengan gerak gerik ibunya yang tidak biasa. Ibunya seakan-akan mencari seseorang di antara puluhan orang yang lalu lalang di depan rumahnya.

“Ibu sedang menunggu abangmu, Nak. Mungkin saja hari ini dia akan datang. Ibu tidak sabar ingin memeluknya,” jawab Ibu.

SANG PENYELAMAT


Bangun pagi bukanlah hal berat bagiku. Namun berangkat cepatlah yang menjadi hal tersulit. Dan tiba sebelum gerbang sekolah ditutup adalah keberuntunganku selama sekolah. Teman-temanku sudah terbiasa dengan hal itu. Mereka malah terkejut jika aku tiba lebih dulu dibandingkan mereka. Menurut mereka, sebuah keajaiban jika aku tiba di sekolah sebelum jam tujuh.   

Meski sering terlambat ke sekolah, tapi aku masih mampu melewati gerbang sekolah yang dijaga oleh seorang satpam itu. Kadang aku masuk beberapa detik sebelum gerbang ditutup, kadang aku masuk diam-diam. Beberapa kali keberuntunganku lenyap. Aku gagal masuk ke sekolah. Alhasil, aku tidak boleh masuk sampai jam sekolah usai.

Sebenarnya aku bingung dengan peraturan di sekolah ini. Siswa yang terlambat dilarang masuk sama sekali. Padahal, kami cuma terlambat pada jam pertama. Tapi, kami tidak diizinkan mengikuti keempat pelajaran selama hari itu. Sementara itu, beberapa siswa yang tergolong nakal seringkali tidak mengikuti pelajaran meski mereka tiba tepat waktu. Bukankah lebih baik jika kami diikutkan pada pelajaran selanjutnya meski harus absen di jam pertama ketimbang harus bolos seperti mereka?