Jam menunjukkan pukul lima sore. Seorang wanita tua
berumur sekitar 70 tahun sedang duduk di serambi rumahnya. Pandangannya yang
sudah mulai kabur menatap ke jalan raya di depan rumahnya. Keningnya berkerut
dan matanya menyipit. Ia berusaha melihat jelas setiap orang yang lalu lalang.
Jalan itu juga dilalui banyak kendaraan yang melintas berlawanan arah, mulai
dari sepeda ontel hingga mobil. Kebisingan jalan raya itu membuat pendengaran
si ibu sudah mulai tumpul. Rambutnya yang memutih telah menjadi saksi perubahan
zaman.
“Bu, masuk, yuk!” Terdengar suara seorang wanita
lain di balik pintu. Sang Ibu tidak memedulikannya. Ia masih sibuk memerhatikan
setiap kendaraan dan orang-orang yang lewat di depan rumahnya. Wanita itu
datang menghampirinya. Usianya 40 tahun, namun kecantikannya tetap terjaga.
Mereka tinggal berdua di rumah “setengah modern” bertingkat dua itu.
Diulanginya ajakannya, “Bu, hari sudah senja. Sebaiknya ibu masuk saja.”
Dengan wajah memohon, ditatapnya anak bungsunya itu.
“Biarkan Ibu di sini sebentar lagi, Nak,” ucap sang Ibu. Anaknya hanya bisa
menghela napas panjang. Ia sebenarnya tidak tega memaksa ibunya masuk. Akhirnya
ia ikut menemani ibunya di serambi mungil itu. Ibu merasa kesepian jika sudah
berada di dalam rumah. Karena itulah setiap sore ia menyempatkan diri untuk
duduk di serambi rumahnya melihat hiruk-pikuk jalan raya. Selain itu,
tetangganya juga sering menyapanya. Dengan begitu, si nenek tidak merasa
kesepian lagi.
“Kenapa Ibu selalu memperhatikan setiap orang yang
lewat?” tanya Rosma pada ibunya. Ia merasa heran dengan gerak gerik ibunya yang
tidak biasa. Ibunya seakan-akan mencari seseorang di antara puluhan orang yang
lalu lalang di depan rumahnya.
“Ibu sedang menunggu abangmu, Nak. Mungkin saja hari
ini dia akan datang. Ibu tidak sabar ingin memeluknya,” jawab Ibu.
Rosma memiliki empat orang saudara. Abangnya, Dul,
merupakan satu-satunya saudara laki-lakinya. Ia sudah pergi merantau sejak
duduk di bangku SMP. Sedangkan Rosma dan ketiga saudaranya yang lain tinggal di
kota yang sama meski kampungnya berbeda. Ibu sangat menyayangi Dul seperti ia
menyayangi anak-anaknya yang lain. Namun, rasa sayangnya itu telah lama
dipendamnya seiring lamanya Dul merantau. Rasa sayangnya hanya bisa diluapkan
ketika Dul pulang ke kampung halamannya. Kecintaannya terhadap sang anak
terkadang membuatnya menderita. Meskipun jadwal makan Ibu teratur, tapi
makanannya tidak pernah lebih dari setengah piring setiap kali makan. Itu semua
karena ibu terlalu memikirkan Dul sehingga diri sendiri terabaikan.
Rosma tahu kalau ibunya sangat menyayangi Dul.
Tetapi, baru kali ini dia melihat ibunda tidak sabar menanti kedatangan
abangnya itu. Dahulu, Dul muda hanya sempat pulang kampung setiap lebaran tiba.
Mungkin ibu berharap tahun ini Dul mengajak keluarga kecilnya pulang kampung
tahun ini. Akan tetapi, waktu itu bulan Ramadhan masih sekitar lima bulan lagi.
Firasat buruk melintas dipikirannya, namun Rosma mencoba menepisnya.
***
“Ibu, Ayah, Dul mau sekolah di luar kota. Boleh,
ya?” Dul kecil membujuk orangtuanya kala itu. “Tapi kamu masih kecil, Nak. Ibu
tidak mungkin membiarkanmu merantau seorang diri.” Ibu menolak permintaan
anaknya itu. “Dul bisa jaga diri kok, Bu. Dul kan laki-laki. Dul kuat kok, Bu,”
kata Dul serius. Diperlihatkannya otot-otot kecilnya untuk meyakinkan sang ibu.
Ibu tertawa kecil melihat tingkah si Dul.
“Baiklah, Dul. Kamu Bapak izinkan untuk sekolah di
luar kota,” kata ayah Dul memutuskan. Sejak tadi ayah tampak serius memikirkan
permintaan Dul. Keputusannya itu membuat ibu dan Dul terkejut. Ibu terkejut
karena tidak menyangka suaminya akan melepaskan anak laki-lakinya itu.
Sedangkan Dul terkejut karena tidak menyangka bisa mendapatkan izin dari sang
ayah. Matanya terbelalak, mulutnya terbuka saking shock-nya. “Horeeeeee!!”
Tiba-tiba suaranya memecah keheningan. Ia bersorak gembira.
Ibu menatap ayah dengan penuh tanda tanya. Ia masih
terkejut. Kedua tangannya menengadah, meminta penjelasan dari sang suami. Ayah
hanya tersenyum dan berkata, “Melarangnya hanya akan membuatnya sulit
berkembang. Selama itu baik, untuk apa dilarang?”
Ibu mengernyitkan dahi, “Apa pertimbangan ayah sampai
Dul dibolehkan merantau?”
Ayah hanya tersenyum dan berkata, “Dul anak yang
tangguh. Dia pasti bisa mandiri. Dia akan sukses di sana.”
Darah serasa mengalir deras dalam tubuh ibu. Ibu
ingin marah kepada ayah atas keputusan yang sepihak itu. Tapi, senyum ayah
selalu meneduhkan hatinya. Ibu tidak jadi marah. Ibu bahkan tidak berkomentar
apa-apa. Meskipun begitu, ibu tetap tidak sependapat dengan sang ayah.
Sebulan setelah itu, Dul akhirnya didaftarkan ke
sebuah pesantren terkenal di ibukota. Sejak ayah memutuskan untuk mengizinkan
Dul sekolah di luar kota, ibu terus mengurung diri di kamar. Ia tidak mau
membantu Dul mempersiapkan segala kebutuhannya. Ia tidak ingin Dul pergi.
Setiap malam ia menangis di hadapan Ilahi. Memohon agar Dul mengurungkan
niatnya. Sampai pada hari keberangkatan Dul, ibunda masih tetap menangis dan
tidak mau berbicara dengan Dul. Dul yang pamitan dengan ibu di kamar ikut
bersedih. Bibirnya melengkung seperti bulan sabit terbalik. Ia tidak ingin
melihat ibunya sedih akan kepergiannya, tapi ia juga ingin mengejar
cita-citanya.
“Ibu tidak ingin melihat Dul berangkat?” tanya Dul
ketika pamit kepada sang ibu. Ibu hanya diam saja. Sudah sebulan ibu merajuk
seperti anak kecil. Hanya air matanya yang menjawab. Dul ikut menangis.
Diciumnya kening ibunya lalu pamit kepada saudara-saudara dan ayahnya.
***
Awal perantauan Dul tiga puluh dua tahun yang lalu
sangat menyiksa hati sang ibu. Namun, kedatangan Dul setiap bulan Ramadhan
selalu menenangkan hatinya meski hanya sebulan saja. Di tahun ke delapan
perantauannya, Dul kesulitan untuk pulang kampung. Kesibukannya sebagai
mahasiswa mulai mengusiknya. Selain itu, krisis moneter mulai mencekik
keuangannya. Kiriman uang untuk Dul juga menurun. Kerusuhan mulai terjadi di
mana-mana akibat krisis tersebut. Ayah Dul meninggal beberapa bulan kemudian
akibat terjebak dalam kerusuhan parah sepulang kerja. Dul yang berduka berusaha
untuk pulang melihat ayahnya untuk terakhir kalinya. Bertahun-tahun kemudian
Dul mulai jarang pulang ke kampung halamannya. Kesedihan ibu karena
ditinggalkan oleh sang suami semakin bertambah karena Dul sudah jarang pulang.
Sejak saat itu, ibu terus menangis. Meskipun Dul
jarang pulang, ia tetap berusaha menelepon sang ibu setiap bulan. Namun, suara
Dul hanya membuat ibu semakin merindu. Kerinduan yang memilukan. Ibu sangat
berharap anak-anaknya bisa berkumpul bersamanya di sini. Tapi, ibu tidak pernah
mengabarkan kesedihannya menanti kedatangan Dul. Ibu bahkan melarang Rosma
untuk menyampaikan keadaannya kepada Dul. Ibu tidak mau memaksa Dul untuk
mengunjunginya. Rosma hanya bisa menuruti perintah ibunda. Kalau tidak, ibu
mengancam tidak mau lagi berbicara dengannya.
***
Bertahun-tahun menanti sang anak membuat ibu tidak
memikirkan kesehatannya. Untung ada Rosma yang menemaninya dan memerhatikan
kondisi sang ibu. Saudara-saudaranya yang lain sudah menikah. Rosma juga sudah
menikah, namun ia terpisah jauh dari sang suami karena urusan pekerjaan. Dua
bulan sekali suaminya datang mengunjunginya. Rosma tidak berniat punya anak. Ia
hanya ingin menemani sang ibu sepanjang hidupnya. Ia bahkan mengizinkan
suaminya untuk menikah lagi jika ingin mempunyai keturunan. Namun suaminya menolak.
Dul juga sudah menikah. Pernikahannya enam belas
tahun lalu dilaksanakan di kota. Ia hanya mengundang keluarganya untuk datang
ke sana. Ibu juga ikut menghadiri pernikahannya. Ibu turut berbahagia atas
pernikahannya. Akan tetapi, ia hanya mampu melepas rindu pada hari bahagia itu.
Keesokan harinya ibu memutuskan untuk pulang. Ibu tidak betah berlama-lama
tinggal di kota. Perpisahan antara Ibu dan Dul saat itu sangat mengharukan. Ibu
tak berhenti menangis dan memeluk anaknya yang kini menjabat sebagai direktur
perusahaan ternama. Dul yang selama ini tampak tegar juga turut menangis. Dul
memeluk sang ibu. Ia meminta maaf karena kesibukannya membuatnya sulit untuk
bertemu sang ibu. Ibu tersenyum dalam haru. Ia bersyukur Tuhan tidak
mengabulkan permintaannya dulu. Ternyata Tuhan ingin membuat Dul sukses melalui
jalan ini. Kalau Dul tidak merantau, ia takkan bisa sesukses ini.
***
Setelah pesta pernikahan Dul, ibu belum pernah lagi
bertemu dengannya. Dul terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Namun, ibu tetap
yakin bahwa anaknya itu akan datang menengoknya. Rosma hanya bisa berdoa untuk
ibu dan abangnya agar mereka bisa dipertemukan kembali.
Dari hari ke hari kesehatan ibu menurun. Ibu
seharusnya beristirahat di kamarnya. Tapi ia tetap memaksakan diri untuk duduk
di serambi rumahnya menanti kedatangan sang anak. Meskipun Rosma melarangnya,
ibu tetap tidak mau bergeming dari tempat duduknya. Dari pagi sampai sore ibu
terus menanti kedatangan Dul. Semakin lama kerinduan ibu pada Dul semakin
menjadi. Air matanya tidak pernah berhenti mengalir karena Dul belum juga
datang. Akibatnya, kedua matanya semakin sulit untuk melihat.
Pada suatu pagi, terdengar suara dari kamar ibu.
Rosma yang sedang berada di dapur segera berlari ke sana. “Astagfirullah, Bu!!
Kenapa ibu bisa jatuh??” tanya Rosma panik. Ibunya tergeletak di atas lantai.
Tempat tidur ibu tidak begitu tinggi. Beruntung, ibu tidak terluka. Namun,
sekujur tubuhnya kesakitan. “Ibu mau keluar, Nak. Tapi badan Ibu terasa berat,
” jawab ibu sambil berusaha untuk berdiri. Rosma membantunya untuk berdiri. Ia
bermaksud untuk menaikkan ibu ke tempat tidur. Tapi sang ibu menolak.
Dilepaskannya tangan Rosma dari lengannya. Ibu berusaha untuk menjangkau pintu
kamar sendirian. Namun, ibu terjatuh lagi. Kakinya sudah tidak mampu lagi
menumpu tubuhnya untuk berjalan. “Bu... Ibu di kamar saja. Kalau abang datang,
nanti Ros langsung ajak abang ke kamar Ibu,” janji Rosma. Ibu yang tidak
sanggup berjalan akhirnya mau menuruti kata-kata Rosma. Rosma membantu ibunya
kembali ke tempat tidur.
Setelah ibu berbaring, Rosma mengambil telepon untuk
menelepon abangnya di kota. Ia tak sanggup lagi melihat kondisi ibunya yang
semakin melemah akibat kerinduannya yang teramat dalam. Kerinduan telah
merampas hati dan pikiran sang ibu. Doa-doa yang dipanjatkan ibu hanya untuk
bertemu dengan anaknya. Anak yang semasa kecilnya selalu ikut bersama ibunya ke
mana pun ia pergi. Anak yang dulu dinantikan kelahirannya karena merupakan
satu-satunya anak lelaki sang ibu.
Setelah berulang kali menelepon abangnya, akhirnya
ada yang menjawab teleponnya di seberang sana.
“Halo, bang Dul?” ucap Rosma memulai pembicaraan.
“Maaf, ini dengan siapa?” Suara pria di seberang
sana terdengar asing baginya.
“Saya Rosma, adiknya bang Dul. Apa benar ini rumah
bang Dul?”
“Iya, benar. Tapi Pak Dul dan keluarganya sudah
tidak tinggal di sini lagi.”
“Kalau boleh tahu, beliau sekarang tinggal di mana?”
Pertanyaan Rosma membuat orang itu terdiam.
Mungkin dia
sedang mengingat-ingat alamat baru Abang, pikir Rosma. Kemudian, suara
di seberang sana terdengar lirih.
“Pak Dul dan keluarganya meninggal sebulan yang
lalu, Bu. Hiks... Hiks...”
Kata-kata orang itu membuat suasana menjadi hening.
Rosma terkejut. Kalau dipikir-pikir, Dul memang tidak pernah menelepon sebulan
ini. Rosma mengira waktu itu kakaknya sedang memiliki banyak kesibukan.
Lagipula, Dul memang sudah jarang menelepon sejak ia punya pekerjaan.
“Anda bohong, kan? Anda ini siapa? Kenapa Anda
bohong sama saya?” Rosma yang tidak percaya malah memarahi lelaki di seberang
sana.
“Saya tidak bohong, Bu. Saya ini supirnya Pak Dul.
Minggu lalu Pak Dul berniat untuk pulang kampung. Beliau tidak ingin saya ikut.
Beliau hanya ingin pergi bersama keluarganya. Tapi, mereka malah mengalami
kecelakaan beruntun. Mobilnya hancur dan tidak ada seorang pun yang selamat.
Ponselnya juga hancur berkeping-keping. Kami tidak tahu bagaimana caranya
menghubungi keluarga Pak Dul di kampung,” tukang kebun itu menjelaskan sambil
terisak. Tangis Rosma pun pecah. Ia tidak tahu bagaimana menyampaikan kabar buruk
ini pada ibunya.
Sebulan yang lalu. Hari ketika ibu tiba-tiba tidak
sabaran menanti kedatangan anaknya. Sejak saat itu, kerinduan ibu semakin
besar. Kerinduan yang dipendamnya selama ini seakan tak terbendung lagi dalam
tubuh kurusnya. Ternyata, firasat ibu akan kedatangannya memang benar. Namun,
tidak ada yang menyangka bahwa Dul dan keluarganya tidak akan sampai ke tempat
tujuan. Rosma bahkan tidak mengira firasat buruknya yang menjadi kenyataan.
Rosma mencoba menemui ibunya. Di kamar itu, ibu terlihat
tersenyum di atas perbaringannya. “Oh, anakku. Dari mana saja kamu? Kenapa baru
datang kemari? Ibu sangat merindukanmu.” Kelihatannya ibu sedang berbicara
dengan orang lain. Namun, tidak ada siapa-siapa di sana. Tangis Rosma semakin
menjadi melihat ibunya berkhayal. “Siapa ini? Anakmu? Dia cantik seperti
ibunya,” kata ibu sambil menunjuk ke depan. Rosma mendekati ibunya. Dipeluknya
sang ibu sambil menangis. Ia tidak jadi menyampaikan kabar buruk kespada
ibunya. “Ros, lihat abangmu. Dia sudah datang bersama keluarganya. Lihat
keponakanmu ini. Dia cantik, ya?” Ros hanya mengangguk dan terus menangis.
“Ros, abangmu datang untuk menjemput Ibu. Kamu
sebaiknya menemui suamimu. Pasti dia sangat ingin tinggal berdua denganmu.
Sekarang, bang Dul yang akan menjaga ibu.” Kata-kata ibu membuat Rosma
menangis. Airmatanya membasahi baju sang ibu yang dipeluknya erat-erat.
“Alhamdulillah! Terima kasih, Ya Allah. Engkau telah mempertemukan hamba dengan
anak lelaki hamba. Laa ilaha Illallah, Muhammadun Rasulullah.” Mata ibu
terpejam. Untuk selamanya. Wajahnya cerah dengan senyuman yang sudah lama tidak
ditampakkannya. Penantiannya telah usai. Rosma panik. Digoyang-goyangkannya
badan ibunya, tapi tidak ada respon sama sekali. Diperiksanya denyut nadi dan
detak jantung sang ibu, namun hasilnya nihil.
“IBUUUUUUUU!!!!!!!!!!!!” Rosma berteriak
sekeras-kerasnya. Ia berpikir mungkin ibunya akan terbangun mendengar suaranya.
Tapi, hasilnya tetap sama. Ia takkan pernah bisa lagi membangunkan ibunya. Ibu
telah pergi bersama abangnya. Kini, penantian sang ibunda telah berakhir. Untuk
selamanya. []*
*) Cerpen ini pernah diterbitkan dalam antologi
"Merindu Sang Cinta" terbitan Deka Publishing
Tidak ada komentar:
Posting Komentar