Pukul satu dini
hari. Setumpuk tugas kuliah menemaniku begadang. Ah, bukan. Merekalah yang
membuatku belum boleh terlelap saat ini. Heningnya suasana di rumah membuatku
terkantuk untuk kesekian kali. Padahal, aku sudah membuat segelas kopi toraja
kesukaanku. Sayangnya, kopi buatanku sudah habis tapi tugasku belum juga
selesai. Aku pun berpikir sepertinya alunan lagu bisa sedikit menyemangatiku.
Karena sudah bosan mendengarkan lagu dari mp3
player-ku, aku memutuskan untuk mendengarkan radio.
Setelah berulang
kali menyetel radio, akhirnya aku menemukan saluran radio yang masih menyiar di
tengah malam seperti ini. Terdengar alunan merdu tembang lawas milik grup band
Caffeine yang berjudul Kau Yang Telah Pergi. Lagu yang berkisah tentang
penyesalan seseorang terhadap kekasihnya yang pergi untuk selamanya. Namun, ia
belum sempat meminta maaf pada kekasihnya itu.
Kau yang t’lah pergi
Saat-saat terakhirku
Teringat denganmu
Yang terbayang kini
Tanpa kusadari, butiran
air mataku membasahi lembar makalahku. Aku terhanyut dalam alunannya. Syairnya
mengingatkanku pada seseorang. Dia bukan kekasihku. Tapi dia sahabat
tercintaku. Dalam sekejap, bayangan tentangnya lima tahun yang lalu kembali
merasuki pikiranku.
***
“Wulan!!” Suara yang
terdengar akrab memanggilku ketika aku hendak masuk ke rumah. Aku berbalik.
Sesosok gadis berkulit sawo matang melambai dari jauh. “Hey!” kataku terkejut
melihat kedatangannya. Dia datang bersama Feby yang juga teman esempe-ku. Aku tersenyum lebar sambil
menunggu mereka turun dari motor. Wajah Linda terlihat makin cantik dan
bersinar, sementara Feby nampak lebih langsing dan putih.
Linda. Sahabatku.
Kami berkenalan di SMP Garuda, tempat kami bersekolah. Sayangnya, komunikasi
kami makin renggang ketika duduk di bangku SMA. Pada awal semester kedua hapeku
terjatuh di angkot. Ini membuatku tidak bisa menghubungi teman-teman lamaku,
termasuk Linda dan Feby.
“Kalian dari mana?”
tanyaku sambil membawa tiga kaleng minuman dingin.
“Tadi aku jemput
Linda di rumahnya sebelum kemari,” jawab Feby.
“Maaf, aku minum air
putih saja,” Linda menolak ketika
kuberikan sekaleng soda.
“Lho, kenapa?”
tanyaku heran.
“Aku takut kalo
penyakit maag-ku kambuh, Lan,” kata Linda.
Aku lupa kalau Linda
punya penyakit maag. Aku pun masuk mengambilkan segelas air putih untuk Linda.
Sore itu kami habiskan dengan beragam obrolan seru sambil ngemil cookies buatan mama. Linda terlihat sangat
bahagia hari itu. Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya telah akur kembali.
Linda juga bercerita kalau dia baru saja pulang dari Solo, kampung halamannya
yang baru didatanginya untuk pertama kalinya. Dia sangat senang karena bisa bertemu
keluarga besarnya di sana.
Aku turut bahagia
mendengarnya. Akhirnya Linda bisa tersenyum puas. Tiga tahun ia telah menderita
akibat pertengkaran orang tuanya. Sakit maag yang dideritanya juga akibat
pertengkaran itu. Tak jarang ia ditinggal sendirian di rumah. Kakaknya pun
jarang pulang. Karenanya, Linda menjadi anak yang tidak terurus. Untunglah
Linda tidak pernah berpikir untuk melakukan hal buruk. Dia terus berdoa. Dia yakin
keluarganya akan utuh kembali. Doanya selama ini akhirnya terjawab.
Keharmonisan keluarganya kembali seperti sedia kala.
***
“Drrrtt... Drrrtt..”
Hapeku bergetar ketika pelajaran sedang berlangsung. Ada satu pesan dari Linda.
Kubuka sms itu dengan hati-hati. Takut ketahuan guru.
“Lan, aku lagi dirawat di rumkit. Aku kena penyakit usus buntu. Doakan
cepat sembuh, ya? J
”
Deg! SMS itu
mengejutkanku. Sejak kapan Linda mengalami usus buntu? Aku tak tahu. Sebulan
yang lalu kulihat Linda baik-baik saja di rumah. Namun, sejak saat itu aku dan
Linda jarang berkomunikasi lagi.
“Lan, kamu kapan ke sini? Aku tunggu, ya! Besok aku dioperasi. Doakan
lancar, ya!”
Aku pun membalas sms
itu. “Iya. Aku usahakan, ya. Kalau ada
yang nganterin. Tunggu aku, ya?!! Semangat!!!”
Aku adalah anak
rumahan yang cuma tahu rute kampus-rumah dan pergi-pulang naik angkot. Kegiatan
di sekolah menghabiskan waktu sampai sekitar pukul empat sore. Sementara jam
besuk ditutup pukul lima sore. Meski kupaksakan untuk naik angkot, aku tetap
tidak bisa menemuinya. Butuh waktu sekitar 45 menit atau lebih untuk bisa
sampai ke rumah sakit. Karena tidak ada yang bisa mengantar, aku pun menunda
kunjunganku ke rumah sakit.
Linda kembali
menghubungiku sehari setelah operasi. Aku pun berjanji akan menjenguknya dalam
waktu dekat. Aku sungguh ingin menemuinya, tapi aku tak berani untuk pergi ke
sana sendirian.
Seminggu berlalu.
Aku selalu menanyakan kabar Linda tiap hari. Dia tetap tersenyum di tiap
smsnya, tetap ceria ketika teleponan denganku. Tapi aku tahu, di sana dia pasti
sangat kecewa karena aku belum juga menemuinya. Sepertinya aku bukan sahabat
yang baik. Aku terus-menerus minta maaf, namun dia melarangku. Dia mengerti
dengan keadaanku. Linda berkata bahwa tidak ada yang salah. Hanya waktunya saja
yang tidak ketemu.
Linda berkata padaku
kalau ia akan dioperasi lagi keesokan harinya karena operasi yang lalu gagal.
Firasatku mulai tak enak. Baru kali ini aku mendengar penderita usus buntu
dioperasi lebih dari sekali dengan waktu jeda hanya sekitar tujuh hari dari
operasi pertama. Aku memang bukan orang yang paham tentang hal ini. Tapi,
firasatku tetap saja kurang baik.
Akhirnya operasi
kedua selesai dilaksanakan di sore hari. Kak Mira mengabariku atas permintaan
Linda. Katanya tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi pada tubuh Linda. Aku
semakin khawatir. Keesokan paginya, Kak Mira meneleponku sambil terisak. Dia
berkata bahwa Linda pergi untuk selamanya. Hatiku hancur. Aku belum sempat
menemuinya hingga hembusan terakhir napasnya. Aku tak bisa berkata apa-apa
lagi. Hanya tangisan yang saat itu mampu melampiaskan perasaanku. Perasaan
sedih karena kehilangan seorang sahabat, dan perasaan bersalah karena tidak
menepati janji untuk menemuinya.
***
Tak kusangka akhir
kisahnya sepilu ini. Kepergiannya menyiksa batinku sampai saat ini. Janjiku
untuk menengoknya di rumah sakit tak pernah kutepati. Aku terlalu takut untuk
mengorbankan waktuku dan melanggar sedikit peraturan di rumah.
Sejak hari pertama
ia dirawat di rumah sakit, sejak hari itu pula aku tak pernah bertemu dengannya
hingga kedukaan memayungi pertemuan kami untuk terakhir kalinya. Ah, bukan. Aku
memang menemuinya, tapi dia tidak menyadarinya. Itu tidak pantas untuk
dinamakan pertemuan. Aku juga tak pantas untuk dinamakan sahabat. Setangkup
penyesalan hinggap di hatiku. Kini, lantunan kidung lawas itu menyesakkanku. Kau telah pergi tinggalkan maaf yang tak
terucap dan takkan kembali, tersimpan kini janjiku di hati.
Dengan mata yang
masih sembab akibat semalam, aku mengunjungi makamnya. Tangisku kembali meluap.
Membasahi tanah tempat peristirahatan terakhirnya. Aku terus-menerus meminta
maaf di depan makamnya, namun ku tahu dia takkan bisa lagi menjawab maafku.
Karena itu, kupanjatkan doa untuknya sebagai pengganti maafku.
“Berhentilah
bersedih. Tak ada gunanya menyesal. Semuanya sudah berlalu. Kamu hanya akan membuat
orang-orang yang menyayangimu khawatir. Lebih baik sekarang kamu memperbaiki
diri, menatap masa depan, dan meraih cita-citamu. Aku yakin, Linda akan bahagia
di sana jika melihat sahabatnya bahagia.”
Kata-kata yang
diucapkan oleh Kak Mira menyadarkanku bahwa penyesalan hanya akan membuat seseorang
semakin terpuruk dalam kesedihan. Padahal masih banyak orang-orang yang
mencintai kita dan harus kita bahagiakan. Kini saatnya aku bangkit untuk meraih
impianku dan mempersembahkannya untuk mereka yang kucintai dan mencintaiku,
terutama keluargaku dan sahabat-sahabatku. Selamat tinggal, Sobat. Meski
jasadmu telah bersemayam, namun kenangan tentangmu tetap terukir di hatiku.
TAMAT
(Diikutsertakan dalam Antologi Cerpen Episode Duka - Deka Publisher - 2012)