“Siapa itu Pratiwi?” tanyaku keheranan.
Rei terdiam. “Dia orang yang pernah
menyatakan perasaannya padaku.”
“What?!! Apa dia tidak tahu dengan
hubungan kita?”
“Dia tahu. Tapi dia rela menjadi yang
kedua,” kata kekasihku lagi. Suaranya melemah. Bahunya bergetar. “Maafkan aku.
Aku khilaf. Aku hampir menerimanya saat itu,” katanya terisak.
Pengakuannya serasa menusuk jantungku.
Jika ini panah, pasti aku telah mati dibuatnya. Lidahku kelu. Mataku mulai
menitikkan bulir hangat. Dia melanjutkan, “Tapi, ketika akan menjawab ‘ya’
padanya, bayang wajahmu tersenyum padaku. Perasaan bersalah kemudian
menyadarkanku. Mengingatkan tentang komitmen yang kita buat, perjuangan yang
kita lalui, dan yang terpenting, menyadarkanku betapa berharganya dirimu.”
“Jadi, kamu menolaknya?”
Dia mengangguk. “Sudah lama ingin
kuceritakan namun aku tak sanggup.” Dia menatapku sedih, “Aku tahu aku yang
salah. Aku siap menerima konsekuensinya.”
“Lalu mengapa kamu mengakuinya
sekarang?”
“Kurasa jujur lebih baik meski itu menyakitkan.
Aku tak ingin menyembunyikan apapun darimu.”
“Ini memang sangat menyakitkan. Tapi, terima
kasih telah berani mengakuinya dan menolaknya demi aku. Sekarang, aku harus
berbagi singgasana di hatimu sampai ia benar-benar kau lupakan.”
Kekecewaan menyelimutiku. Namun,
kejujurannya meluluhkanku. Setiap orang pernah berbuat salah. Aku pun memberinya
kesempatan kedua karena cintaku lebih besar daripada kecewaku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar