Sabtu, 28 Desember 2013

Mohon Ayah ♡ Ibu


Aku adalah seorang anak kecil berumur 5 tahun. Ini tahun pertamaku di TK. Aku berhasil mendapatkan peringkat 1 dan sudah bisa membaca. Di rumah, aku senang membaca & belajar menulis.

Suatu hari, ketika berjalan-jalan bersama ayah & ibu, aku melihat sebuah pesan bertuliskan "Mohon untuk tidak disentuh.". Baru kali ini aku mendengar kata mohon. Jadi, kutanyakan pada ayah apa maksud kalimat itu. Kata ayah, mohon itu sama dengan tolong. Jadi kalimat itu artinya tolong jangan disentuh.

Sepulang dari jalan-jalan, aku lalu mengambil kertas dan pensil. Kutuliskan sebuah kalimat: Mohon ayah ibu. Mungkin terdengar lucu dan terlalu dewasa. Aku tahu, lambang itu artinya cinta yang juga berarti suka. Aku memang bermaksud memohon kepada ayah untuk selalu mencintai ibu.

Dengan bangganya, kuperlihatkan tulisanku itu kepada ayah. Aku senang ayah menyanjungku. Aku pun berlalu dan meninggalkan kertas itu bersama ayah.

Oh, tidak! Aku lupa mengambil pensilku. Aku berbalik untuk mencari pensilku. Mungkin pensilku tertinggal di atas meja. Pada saat itu, aku melihat ayah merobek kertasku. Aku tidak tahu kenapa. Ayah pun bangkit dari duduknya. Aku mendekat mengambil pensilku. Tampaknya ayah tidak melihatku memperhatikannya tadi.

Hampir setiap hari kulihat ayah & ibu bertengkar. "Ayah menyiksa ibu!" Itu yang kukatakan pada bunda-bundaku. Ada yang tertawa mengira aku hanya bercanda, ada pula yang meringis tapi tidak bisa berbuat apa-apa. Orangtuaku pun tidak menegur perkataanku. Aku jadi berpikir sepertinya ayah memang benar menyiksa ibu. Dan ayah tidak peduli padaku yang selalu melihatnya bertengkar.

Ayah selalu membuat ibu menangis. Apa ibu memang salah? Sebenarnya siapa yang salah? Masalahnya saja aku tak tahu. Aku memang masih kecil. Tapi aku sudah punya perasaan sejak lahir. Tentu saja. Meski aku tidak tahu alasannya, tapi aku bisa membedakan perasaan baik dan tidak baik yang dirasakan ibu dan ayah. Tapi mengapa tidak ada yang memikirkan perasaanku? 

Aku tidak putus asa. Kutulis lagi kalimat yang sama ketika sedang berkunjung ke rumah nenek. Aku senang kali ini ayah tidak merobeknya. Tapi ayah bahkan tidak peduli dengan tulisanku itu. Aku terdiam menahan sakit di dalam sini. Tuhan, aku pasrah.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar