Aku adalah seorang anak kecil berumur 5 tahun. Ini tahun pertamaku di TK. Aku berhasil mendapatkan peringkat 1 dan sudah bisa membaca. Di rumah, aku senang membaca & belajar menulis.
Suatu hari, ketika berjalan-jalan bersama ayah & ibu,
aku melihat sebuah pesan bertuliskan "Mohon untuk tidak disentuh.".
Baru kali ini aku mendengar kata mohon. Jadi, kutanyakan pada ayah apa maksud
kalimat itu. Kata ayah, mohon itu sama dengan tolong. Jadi kalimat itu artinya
tolong jangan disentuh.
Sepulang dari jalan-jalan, aku lalu mengambil kertas dan
pensil. Kutuliskan sebuah kalimat: Mohon ayah ♡ ibu. Mungkin terdengar lucu dan
terlalu dewasa. Aku tahu, lambang itu artinya cinta yang juga berarti suka. Aku
memang bermaksud memohon kepada ayah untuk selalu mencintai ibu.
Dengan bangganya, kuperlihatkan tulisanku itu kepada ayah.
Aku senang ayah menyanjungku. Aku pun berlalu dan meninggalkan kertas itu
bersama ayah.
Oh, tidak! Aku lupa mengambil pensilku. Aku berbalik untuk
mencari pensilku. Mungkin pensilku tertinggal di atas meja. Pada saat itu, aku
melihat ayah merobek kertasku. Aku tidak tahu kenapa. Ayah pun bangkit dari
duduknya. Aku mendekat mengambil pensilku. Tampaknya ayah tidak melihatku
memperhatikannya tadi.
Hampir setiap hari kulihat ayah & ibu bertengkar.
"Ayah menyiksa ibu!" Itu yang kukatakan pada bunda-bundaku. Ada yang
tertawa mengira aku hanya bercanda, ada pula yang meringis tapi tidak bisa
berbuat apa-apa. Orangtuaku pun tidak menegur perkataanku. Aku jadi berpikir
sepertinya ayah memang benar menyiksa ibu. Dan ayah tidak peduli padaku yang
selalu melihatnya bertengkar.
Ayah selalu membuat ibu menangis. Apa ibu memang salah?
Sebenarnya siapa yang salah? Masalahnya saja aku tak tahu. Aku memang
masih kecil. Tapi aku sudah punya perasaan sejak lahir. Tentu saja. Meski aku
tidak tahu alasannya, tapi aku bisa membedakan perasaan baik dan tidak baik
yang dirasakan ibu dan ayah. Tapi mengapa tidak ada yang memikirkan
perasaanku?
Aku tidak putus asa. Kutulis lagi kalimat yang sama ketika
sedang berkunjung ke rumah nenek. Aku senang kali ini ayah tidak merobeknya.
Tapi ayah bahkan tidak peduli dengan tulisanku itu. Aku terdiam menahan sakit
di dalam sini. Tuhan, aku pasrah.