BAB 1 - PELARIAN (Bag.1)
Musim dingin tahun 1970, Kota Daly, California - Aku
sendirian, kelaparan, dan menggigil dalam gelapnya malam. Aku duduk di atas
kedua tanganku di dasar tangga garasi. Kumiringkan kepalaku ke belakang.
Tanganku mati rasa selama beberapa jam. Otot leher dan pundakku mulai menegang.
Tapi itu bukanlah hal baru - Aku telah belajar untuk tidak merasakan sakitnya.
Aku dijadikan tahanan oleh ibuku sendiri.
Aku dipukul dan dijadikan “mainan” olehnya, menyelesaikan
pekerjaan sore, kemudian duduk di dasar tangga sampai Aku dipanggil untuk
menuntaskan tugas malam. Kemudian, jika aku menyelesaikan semua tugasku tepat
waktu, dan jika aku tidak terbukti melakukan “kejahatan” apapun, Aku mungkin diberikan
sepotong makanan.
Hariku pun berakhir hanya ketika Ibu mengizinkanku tidur
di tempat tidur tua itu, dimana tubuhku meringkuk sambil berusaha
mempertahankan suhu tubuhku dengan penuh kesabaran. Satu-satunya kegembiraan
dalam hidupku adalah ketika aku tertidur. Ini merupakan waktu terbaik untuk
bisa lari dari kehidupanku. Aku senang bermimpi.
Akhir pekan lebih buruk lagi. Tidak bersekolah artinya
tak ada makanan dan lebih banyak waktu untuk tinggal di “Rumah”. Semua yang
bisa kulakukan adalah mencoba membayangkan diriku pergi - ke suatu tempat, di
manapun - dari “Rumah”. Aku menjadi orang yang diasingkan dalam sebuah
“Keluarga” selama bertahun-tahun. Seingatku, aku selalu berada dalam kesulitan
dan “berhak” untuk dihukum. Awalnya kukira aku anak nakal. Kemudian aku mengira
kalau Ibu sedang sakit karena ia bertingkah lain ketika saudara-saudaraku tidak
ada dan ayahku pergi bekerja. Namun bagaimanapun juga, aku selalu menyadari
kalau Ibu dan aku punya hubungan tersendiri. Aku juga menyadari bahwa untuk
beberapa alasan aku menjadi satu-satunya sasaran atas kemarahannya yang tanpa
sebab dan kesenangannya yang berubah-ubah.
Aku tidak punya rumah. Aku bukanlah anggota keluarga
siapapun. Aku menyadari jauh di dalam diriku bahwa sekarang atau kapanpun aku
tidak pernah berhak dicintai, diberi perhatian, atau bahkan dianggap sebagai
manusia. Aku adalah seorang anak yang dipanggil dengan sebutan “Itu”.
Aku benar-benar sendirian.
Di lantai atas konflik telah dimulai. Karena sudah lewat
jam empat sore, aku tahu kalau kedua orangtuaku mabuk. Teriakan pun dimulai. Pertama
saling memanggil, kemudian mengutuk. Kuhitung detik demi detik sebelum tiba
giliranku - ini selalu terjadi. Terdengar suara ibuku dan giliranku pun tiba.
“Apa maksudmu?” dia menjerit kepada ayahku, Stephen. “Kau kira aku
memperlakukan “anak itu” dengan buruk? Begitu?” Suaranya berubah menjadi
dingin. Bisa kubayangkan dia menunjuk-nunjuk di depan wajah ayahku. “Kau ...
dengarkan ... aku. Kau tidak punya gambaran seperti apa dirinya. Jika kau
mengira aku memperlakukan ‘itu’ dengan buruk ... pasti... ‘Itu’ akan tinggal di
tempat lain.”
-bersambung-
Note: Ini hasil terjemahanku sendiri. Harap maklum :)
Lanjuting dong novelnya. Orang nyariin lanjutannya nggak ada ada.
BalasHapus