Kamis, 21 November 2013

Konflik Batin

Seharian mood-ku terombang-ambing. Rencanaku untuk keluar batal karena tidak mendapatkan izin. Sementara di rumah tidak ada hal menyenangkan yang bisa kukerjakan. Bodohku, kubiarkan mood itu menguasaiku. Segala hal menyebalkan pun datang satu per satu. Kesabaranku dalam sangkar meluntur.
Aku tidak tahan lagi!
Aku ingin bebas!
Teriakku dalam hati. Aku tak mampu mengatakannya. Aku hanya mampu menangis terisak.
Lemah. Manja. Tidak mandiri. Inilah aku. Tidak ada yang bisa kulakukan.
Oh, tidak. Coba lihat diriku dari sisi positif. Aku masih hidup. Kurasa itu cukup untuk membuatku bersyukur dan berhenti mengeluh. Masih belum puas? Orangtuaku sayang padaku. Karena itulah mereka belum melepaskanku. Yah, walaupun caranya sedikit berlebihan.
Tapi hal ini membuatku kesepian.
Benarkah?
Ya. Aku tidak punya sahabat. Aku bahkan lupa bagaimana rasanya punya sahabat.
Lalu siapa mereka yang selalu hadir menemaniku?
Mereka adalah orang-orang yang setidaknya menurutku peduli padaku. Entahlah mereka menganggapku sahabat atau tidak.
Tidak apa. Setidaknya aku punya teman.
Tapi kami hanya berkomunikasi secara maya. Bahkan dengan teman sekelasku sekalipun.
Oh, tunggu. Masih ada dia, sosok yang bisa menjadi siapa saja bagiku: kakak, sahabat, dan kekasih!
Sebegitu sulitkah aku bersyukur? Begitu banyak sanggahan yang muncul.
Tidak! Aku tidak boleh begini. Aku tidak boleh fokus pada kekuranganku. Aku sebaiknya fokus untuk memperbaiki diri walau dalam keterbatasanku. Dan, aku terlahir sempurna tanpa cacat! Itu yang perlu kusyukuri meski harus hidup bertahun-tahun di dalam sangkar.
Konflik batin ini tidak sesederhana yang mampu tertuliskan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar