Sabtu, 14 Februari 2015

Mencintaimu dengan Tulus

Hai, Sayangku!
Sudahkah kau melihat kalender hari ini? Kata orang hari ini adalah hari kasih sayang. Tapi, di kalenderku tidak ada keterangan apa-apa tertera di sana. Warna tanggalnya pun tidak merah. Dan kau..., kau tetap sibuk dengan pekerjaanmu. Tidak ada yang spesial, bukan?

Sudahlah, abaikan saja peringatan hari kasih sayang itu. Bukankah kita selalu ingat untuk saling mengasihi dan menyayangi tanpa perlu diperingatkan? Haha, omonganku benar-benar ngawur. Lupakan saja.

Ngomong-ngomong, berbicara tentang kasih sayang mengingatkanku tentang masa lalu kita beberapa tahun yang lalu. Apa kau masih ingat?

Sebenarnya aku malu untuk menceritakannya, tapi tak apalah. Toh, kita berdua sudah melewatinya bersama-sama.

Saat itu kau menyatakan perasaanmu padaku. Kau tahu, saat itu aku merasa sangat gembira. Tapi aku tidak sepenuhnya gembira. Kau tahu kenapa? Karena saat itu kau belum menaruh rasa padaku seutuhnya.

Masih teringat jelas di benakku percakapan kita kala itu ....

"Saat ini aku belum benar-benar bisa melupakannya, tapi bukan berarti aku tak bisa. Dan bukan berarti aku tidak mencintaimu. Hanya saja aku butuh sedikit waktu untuk mencintaimu seutuhnya."

Dia yang kaumaksud adalah seseorang yang kausukai dulu. Seseorang yang tidak pernah menjadi milikmu tapi tetap kausukai dalam diammu.

"Tapi, jika kamu tidak menyukai sikapku ini, kamu boleh meninggalkanku. Walau sebenarnya ... aku tidak ingin kamu pergi. Aku benar-benar ingin menjalani hubungan denganmu. Tapi kalau aku hanya menyakitimu, kamu boleh menolakku," kau melanjutkan dengan sedikit salah tingkah.

Hening. Tak ada tanggapan dariku.

Kau kembali angkat bicara, "Jujur, aku sudah memikirkannya selama beberapa bulan terakhir. Sejak pertemuan kita tahun lalu, kamu terus memenuhi pikiranku. Tapi egoku menantangku untuk menaklukkan dia, sang diva sekolah. Aku akan merasa bangga jika bisa mendapatkannya. Namun kemudian aku sadar, tidak ada gunanya menaklukkan seorang perempuan hanya demi ego semata. Kurasa sudah waktunya untuk mencari perempuan yang bisa kuajak untuk menata masa depan. Dan saat itu hanya wajahmu yang kuingat.  Karena itu, maafkan aku terlambat menyatakan perasaanku padamu. Aku butuh waktu untuk memantapkan hati, dan kurasa inilah saatnya untuk mengatakannya padamu."

"Apakah aku menjadi pelarian bagimu?" kata-kata itu keluar begitu saja dari mulutku.

"Tidak. Tentu tidak. Jika aku ingin menjadikanmu pelarian, sudah kulakukan setahun kemarin karena aku tahu kamu juga menyukaiku. Tapi aku tidak sejahat itu. Karena itu, aku mencoba menenangkan diri agar mampu memutuskan yang terbaik sehingga tidak ada yang tersakiti."

Walaupun ada sedikit luka mendengarkan penjelasanmu, tapi kebahagiaanku jauh lebih besar. Kau berusaha untuk jujur padaku. Dan kau memberi kesempatan pada dirimu untuk mencintaiku seutuhnya.

Tahukah engkau? Sudah lama aku tahu bahwa kau menyukainya--dan sejak saat itu aku tidak terlalu menyukainya, aku cemburu. Tapi entah kenapa rasa untukmu itu tidak juga menghilang. Padahal ada beberapa laki-laki yang ingin mendepakmu dari singgasana hatiku.

"Kamu tahu kenapa sampai saat ini aku masih bertahan untuk menunggumu? Padahal kamu sempat menghilang beberapa lama setelah mendekatiku dan membuatku jatuh cinta." Aku mulai angkat bicara. "Itu karena aku mencintaimu dengan tulus, Rei," lanjutku malu-malu sambil berusaha menghindari kontak mata. Apakah pantas bagi seorang perempuan untuk berkata seperti itu? Entahlah. Tapi apa boleh buat, memang itu yang kurasakan.

"Aku tentu mau menerimamu apa adanya. Selama kamu tidak menjadikanku pelarian, penjelasan itu sudah cukup untukku. Kita bisa memperbaiki segala kekurangan dalam diri kita masing-masing seiring berjalannya waktu. Dan hanya waktu yang akan menjawab apa kita pantas untuk bersama atau tidak. Aku juga akan berjuang agar kamu mau menatapku dengan kedua matamu. Bukan hanya dengan sebelah mata saja," ungkapku panjang lebar.

Ya, bukan dengan sebelah mata seperti saat itu. Saat kau mencuri pandang pada sosok perempuan itu yang sedang mengobrol dengan kekasihnya.

Kau tahu, banyak hal yang sudah terjadi selama setahun kebersamaan kita hingga aku akhirnya mampu dicintai olehmu seutuhnya. Tak ada lagi dia dalam hatimu. Aku berhasil mengalahkannya dalam hatimu.

Kau masih ingat masa-masa itu, bukan? Masa-masa yang berat untuk kita jalani. Dan semua itu mampu kita lewati karena kasih dan sayang yang mengalir lembut dalam hubungan kita.

Kau juga pernah bilang bahwa kita akan tetap bersama selama masih ada komitmen,kepercayaan, dan kejujuran yang terus dipertahankan. Dan berkat ketiga hal itu, rasa kasih dan sayang kita semakin kuat. Rasa cinta kita semakin dalam.

Oh, maafkan aku. Sepertinya suratnya agak luntur terkena air mataku. Haha. Tapi tenanglah, tidak ada tangis kesedihan ketika aku menuliskan surat ini. Ini hanyalah tangis haru dan syukur atas kebersamaan yang selama ini kita jaga.

Sayangku, terima kasih sudah menjagaku, menjaga hubungan kita, dan menjaga cinta kita. Masih banyak rintangan yang harus kita lalui. Tapi ingatlah, aku ada bersamamu. Aku takkan pernah membiarkanmu berjuang sendirian. Bukankah cinta itu akan tetap terjaga selama kita sama-sama memperjuangkannya? Kalau hanya berjuang sendiri, itu bukan cinta namanya. Hihihi. Benar, 'kan? Tetaplah jaga cintamu untukku. Aku pun akan selalu tulus mencintaimu. Semoga cinta kita selamanya tetap utuh dalam hati kita.

Selamat bekerja!

Love you, Dear! ♡

Dari aku yang selalu menyayangi dan mencintaimu. :-)

(14.02.15)

1 komentar: