Sabtu, 10 November 2012

KAU TELAH PERGI

Pukul satu dini hari. Setumpuk tugas kuliah menemaniku begadang. Ah, bukan. Merekalah yang membuatku belum boleh terlelap saat ini. Heningnya suasana di rumah membuatku terkantuk untuk kesekian kali. Padahal, aku sudah membuat segelas kopi toraja kesukaanku. Sayangnya, kopi buatanku sudah habis tapi tugasku belum juga selesai. Aku pun berpikir sepertinya alunan lagu bisa sedikit menyemangatiku. Karena sudah bosan mendengarkan lagu dari mp3 player-ku, aku memutuskan untuk mendengarkan radio.
Setelah berulang kali menyetel radio, akhirnya aku menemukan saluran radio yang masih menyiar di tengah malam seperti ini. Terdengar alunan merdu tembang lawas milik grup band Caffeine yang berjudul Kau Yang Telah Pergi. Lagu yang berkisah tentang penyesalan seseorang terhadap kekasihnya yang pergi untuk selamanya. Namun, ia belum sempat meminta maaf pada kekasihnya itu.
Kau yang t’lah pergi
Saat-saat terakhirku
Teringat denganmu
Yang terbayang kini
Tanpa kusadari, butiran air mataku membasahi lembar makalahku. Aku terhanyut dalam alunannya. Syairnya mengingatkanku pada seseorang. Dia bukan kekasihku. Tapi dia sahabat tercintaku. Dalam sekejap, bayangan tentangnya lima tahun yang lalu kembali merasuki pikiranku.
***
“Wulan!!” Suara yang terdengar akrab memanggilku ketika aku hendak masuk ke rumah. Aku berbalik. Sesosok gadis berkulit sawo matang melambai dari jauh. “Hey!” kataku terkejut melihat kedatangannya. Dia datang bersama Feby yang juga teman esempe-ku. Aku tersenyum lebar sambil menunggu mereka turun dari motor. Wajah Linda terlihat makin cantik dan bersinar, sementara Feby nampak lebih langsing dan putih.
Linda. Sahabatku. Kami berkenalan di SMP Garuda, tempat kami bersekolah. Sayangnya, komunikasi kami makin renggang ketika duduk di bangku SMA. Pada awal semester kedua hapeku terjatuh di angkot. Ini membuatku tidak bisa menghubungi teman-teman lamaku, termasuk Linda dan Feby.
“Kalian dari mana?” tanyaku sambil membawa tiga kaleng minuman dingin.
“Tadi aku jemput Linda di rumahnya sebelum kemari,” jawab Feby.
“Maaf, aku minum air putih saja,”  Linda menolak ketika kuberikan sekaleng soda.
“Lho, kenapa?” tanyaku heran.
“Aku takut kalo penyakit maag-ku kambuh, Lan,” kata Linda.
Aku lupa kalau Linda punya penyakit maag. Aku pun masuk mengambilkan segelas air putih untuk Linda. Sore itu kami habiskan dengan beragam obrolan seru sambil ngemil cookies buatan mama. Linda terlihat sangat bahagia hari itu. Dia bercerita bahwa kedua orang tuanya telah akur kembali. Linda juga bercerita kalau dia baru saja pulang dari Solo, kampung halamannya yang baru didatanginya untuk pertama kalinya. Dia sangat senang karena bisa bertemu keluarga besarnya di sana.
Aku turut bahagia mendengarnya. Akhirnya Linda bisa tersenyum puas. Tiga tahun ia telah menderita akibat pertengkaran orang tuanya. Sakit maag yang dideritanya juga akibat pertengkaran itu. Tak jarang ia ditinggal sendirian di rumah. Kakaknya pun jarang pulang. Karenanya, Linda menjadi anak yang tidak terurus. Untunglah Linda tidak pernah berpikir untuk melakukan hal buruk. Dia terus berdoa. Dia yakin keluarganya akan utuh kembali. Doanya selama ini akhirnya terjawab. Keharmonisan keluarganya kembali seperti sedia kala.
***
“Drrrtt... Drrrtt..” Hapeku bergetar ketika pelajaran sedang berlangsung. Ada satu pesan dari Linda. Kubuka sms itu dengan hati-hati. Takut ketahuan guru.
“Lan, aku lagi dirawat di rumkit. Aku kena penyakit usus buntu. Doakan cepat sembuh, ya? J ”
Deg! SMS itu mengejutkanku. Sejak kapan Linda mengalami usus buntu? Aku tak tahu. Sebulan yang lalu kulihat Linda baik-baik saja di rumah. Namun, sejak saat itu aku dan Linda jarang berkomunikasi lagi.
“Lan, kamu kapan ke sini? Aku tunggu, ya! Besok aku dioperasi. Doakan lancar, ya!”
Aku pun membalas sms itu. “Iya. Aku usahakan, ya. Kalau ada yang nganterin. Tunggu aku, ya?!! Semangat!!!”
Aku adalah anak rumahan yang cuma tahu rute kampus-rumah dan pergi-pulang naik angkot. Kegiatan di sekolah menghabiskan waktu sampai sekitar pukul empat sore. Sementara jam besuk ditutup pukul lima sore. Meski kupaksakan untuk naik angkot, aku tetap tidak bisa menemuinya. Butuh waktu sekitar 45 menit atau lebih untuk bisa sampai ke rumah sakit. Karena tidak ada yang bisa mengantar, aku pun menunda kunjunganku ke rumah sakit.
Linda kembali menghubungiku sehari setelah operasi. Aku pun berjanji akan menjenguknya dalam waktu dekat. Aku sungguh ingin menemuinya, tapi aku tak berani untuk pergi ke sana sendirian.
Seminggu berlalu. Aku selalu menanyakan kabar Linda tiap hari. Dia tetap tersenyum di tiap smsnya, tetap ceria ketika teleponan denganku. Tapi aku tahu, di sana dia pasti sangat kecewa karena aku belum juga menemuinya. Sepertinya aku bukan sahabat yang baik. Aku terus-menerus minta maaf, namun dia melarangku. Dia mengerti dengan keadaanku. Linda berkata bahwa tidak ada yang salah. Hanya waktunya saja yang tidak ketemu.
Linda berkata padaku kalau ia akan dioperasi lagi keesokan harinya karena operasi yang lalu gagal. Firasatku mulai tak enak. Baru kali ini aku mendengar penderita usus buntu dioperasi lebih dari sekali dengan waktu jeda hanya sekitar tujuh hari dari operasi pertama. Aku memang bukan orang yang paham tentang hal ini. Tapi, firasatku tetap saja kurang baik.
Akhirnya operasi kedua selesai dilaksanakan di sore hari. Kak Mira mengabariku atas permintaan Linda. Katanya tidak ada perubahan apa-apa yang terjadi pada tubuh Linda. Aku semakin khawatir. Keesokan paginya, Kak Mira meneleponku sambil terisak. Dia berkata bahwa Linda pergi untuk selamanya. Hatiku hancur. Aku belum sempat menemuinya hingga hembusan terakhir napasnya. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Hanya tangisan yang saat itu mampu melampiaskan perasaanku. Perasaan sedih karena kehilangan seorang sahabat, dan perasaan bersalah karena tidak menepati janji untuk menemuinya.
***
Tak kusangka akhir kisahnya sepilu ini. Kepergiannya menyiksa batinku sampai saat ini. Janjiku untuk menengoknya di rumah sakit tak pernah kutepati. Aku terlalu takut untuk mengorbankan waktuku dan melanggar sedikit peraturan di rumah.
Sejak hari pertama ia dirawat di rumah sakit, sejak hari itu pula aku tak pernah bertemu dengannya hingga kedukaan memayungi pertemuan kami untuk terakhir kalinya. Ah, bukan. Aku memang menemuinya, tapi dia tidak menyadarinya. Itu tidak pantas untuk dinamakan pertemuan. Aku juga tak pantas untuk dinamakan sahabat. Setangkup penyesalan hinggap di hatiku. Kini, lantunan kidung lawas itu menyesakkanku. Kau telah pergi tinggalkan maaf yang tak terucap dan takkan kembali, tersimpan kini janjiku di hati.
Dengan mata yang masih sembab akibat semalam, aku mengunjungi makamnya. Tangisku kembali meluap. Membasahi tanah tempat peristirahatan terakhirnya. Aku terus-menerus meminta maaf di depan makamnya, namun ku tahu dia takkan bisa lagi menjawab maafku. Karena itu, kupanjatkan doa untuknya sebagai pengganti maafku.
“Berhentilah bersedih. Tak ada gunanya menyesal. Semuanya sudah berlalu. Kamu hanya akan membuat orang-orang yang menyayangimu khawatir. Lebih baik sekarang kamu memperbaiki diri, menatap masa depan, dan meraih cita-citamu. Aku yakin, Linda akan bahagia di sana jika melihat sahabatnya bahagia.”
Kata-kata yang diucapkan oleh Kak Mira menyadarkanku bahwa penyesalan hanya akan membuat seseorang semakin terpuruk dalam kesedihan. Padahal masih banyak orang-orang yang mencintai kita dan harus kita bahagiakan. Kini saatnya aku bangkit untuk meraih impianku dan mempersembahkannya untuk mereka yang kucintai dan mencintaiku, terutama keluargaku dan sahabat-sahabatku. Selamat tinggal, Sobat. Meski jasadmu telah bersemayam, namun kenangan tentangmu tetap terukir di hatiku.

TAMAT
(Diikutsertakan dalam Antologi Cerpen Episode Duka - Deka Publisher - 2012)

6 komentar:

  1. Bukan. Cuma short story. Hehe. Kasih komentar yah :d:

    BalasHapus
  2. g ikutan lomba “CIPTAKAN CITRA POSITIF MAKASSAR LEWAT TULISAN” ?

    BalasHapus
  3. Muh. Nur. Syamsi: kenapa :a: kk? hehe. Nda dapat infonya. Liat dimana itu?

    BalasHapus
  4. Alur terkesan terlalu cepat. Tapi untuk masalah ini--cerita, cerpen, FF, atau apapun itu--Ayu jauh lebih baik daripada aku. :D

    BalasHapus