Sabtu, 28 April 2012

Novel THE LOST BOY - Dave Pelzer


BAB 1 - PELARIAN (Bag.1)

Musim dingin tahun 1970, Kota Daly, California - Aku sendirian, kelaparan, dan menggigil dalam gelapnya malam. Aku duduk di atas kedua tanganku di dasar tangga garasi. Kumiringkan kepalaku ke belakang. Tanganku mati rasa selama beberapa jam. Otot leher dan pundakku mulai menegang. Tapi itu bukanlah hal baru - Aku telah belajar untuk tidak merasakan sakitnya.
Aku dijadikan tahanan oleh ibuku sendiri.
Umurku sembilan tahun, dan sudah bertahun-tahun kujalani kehidupan seperti ini. Hal yang sama terjadi setiap hari. Aku bangun di atas tempat tidur tentara yang sudah tua di garasi, menyelesaikan pekerjaan di pagi hari, dan jika aku beruntung, kumakan sisa sarapan sereal milik saudara-saudaraku. Aku berangkat ke sekolah, mencuri makanan, kembali ke “Rumah” dan dipaksa untuk muntah di mulut toilet untuk membuktikan bahwa aku tidak mencuri makanan apapun.
Aku dipukul dan dijadikan “mainan” olehnya, menyelesaikan pekerjaan sore, kemudian duduk di dasar tangga sampai Aku dipanggil untuk menuntaskan tugas malam. Kemudian, jika aku menyelesaikan semua tugasku tepat waktu, dan jika aku tidak terbukti melakukan “kejahatan” apapun, Aku mungkin diberikan sepotong makanan.
Hariku pun berakhir hanya ketika Ibu mengizinkanku tidur di tempat tidur tua itu, dimana tubuhku meringkuk sambil berusaha mempertahankan suhu tubuhku dengan penuh kesabaran. Satu-satunya kegembiraan dalam hidupku adalah ketika aku tertidur. Ini merupakan waktu terbaik untuk bisa lari dari kehidupanku. Aku senang bermimpi.
Akhir pekan lebih buruk lagi. Tidak bersekolah artinya tak ada makanan dan lebih banyak waktu untuk tinggal di “Rumah”. Semua yang bisa kulakukan adalah mencoba membayangkan diriku pergi - ke suatu tempat, di manapun - dari “Rumah”. Aku menjadi orang yang diasingkan dalam sebuah “Keluarga” selama bertahun-tahun. Seingatku, aku selalu berada dalam kesulitan dan “berhak” untuk dihukum. Awalnya kukira aku anak nakal. Kemudian aku mengira kalau Ibu sedang sakit karena ia bertingkah lain ketika saudara-saudaraku tidak ada dan ayahku pergi bekerja. Namun bagaimanapun juga, aku selalu menyadari kalau Ibu dan aku punya hubungan tersendiri. Aku juga menyadari bahwa untuk beberapa alasan aku menjadi satu-satunya sasaran atas kemarahannya yang tanpa sebab dan kesenangannya yang berubah-ubah.
Aku tidak punya rumah. Aku bukanlah anggota keluarga siapapun. Aku menyadari jauh di dalam diriku bahwa sekarang atau kapanpun aku tidak pernah berhak dicintai, diberi perhatian, atau bahkan dianggap sebagai manusia. Aku adalah seorang anak yang dipanggil dengan sebutan “Itu”.
Aku benar-benar sendirian.
Di lantai atas konflik telah dimulai. Karena sudah lewat jam empat sore, aku tahu kalau kedua orangtuaku mabuk. Teriakan pun dimulai. Pertama saling memanggil, kemudian mengutuk. Kuhitung detik demi detik sebelum tiba giliranku - ini selalu terjadi. Terdengar suara ibuku dan giliranku pun tiba. “Apa maksudmu?” dia menjerit kepada ayahku, Stephen. “Kau kira aku memperlakukan “anak itu” dengan buruk? Begitu?” Suaranya berubah menjadi dingin. Bisa kubayangkan dia menunjuk-nunjuk di depan wajah ayahku. “Kau ... dengarkan ... aku. Kau tidak punya gambaran seperti apa dirinya. Jika kau mengira aku memperlakukan ‘itu’ dengan buruk ... pasti... ‘Itu’ akan tinggal di tempat lain.”
-bersambung-

Note: Ini hasil terjemahanku sendiri. Harap maklum :)


1 komentar:

  1. Lanjuting dong novelnya. Orang nyariin lanjutannya nggak ada ada.

    BalasHapus